Sunday, January 26, 2020

Menghitung Pahala


Menghitung pahala? Loh kok dihitung. Sejak kecil kan kita diajarkan untuk tidak mengingat-ingat kebaikan yang sudah diperbuat. Biarkan malaikat yang mencatat katanya.

Ya itu betul.

Tapi, seringkali kita terperdaya dan merasa percaya diri sekali, ‘saya sudah solat, sudah puasa, sudah beramal, yaa udah lumayan lah daripada orang yang gak solat’. Waittt,  untuk masalah agama, bandingkan dengan orang yang standarnya ada di atas kita. Untuk masalah dunia, bandingkan dengan orang yang tidak seberuntung kita. Jangan dibalik!

Ketika kita berada pada tahap merasa ‘cukup’ dengan amalan selama ini, coba yuk iseng-iseng buat perhitungan kasarnya (sebelum nanti dilakukan perhitungan sesungguhnya).
  1. Coba buat daftar kebaikan kita selama ini (solat, puasa, beramal, dzikir, umroh, dll yang bisa diingat). Sudah?
  2. Kemudian buat daftar nikmat yang sudah didapat (termasuk nikmat iman, kesehatan, ilmu, rezeki, dll). FYI, nikmat penglihatan itu lebih berat timbangannya daripada ibadah selama 500 tahun (HR. Al-Hakim, 4/250). Baik, masih bisa menyelesaikan daftarnya? Lanjut
  3. Lalu  dikurangi dosa dosa yang selama ini kita perbuat.

Jika boleh jujur, jawaban apa yang kita dapat?
Silahkan dijawab dalam hati masing-masing.


Buat saya sendiri, kalau hanya mengandalkan pahala, rasanya jauhhhhh dari cukup untuk bisa ‘mendapat tiket' masuk surga. Mau datang ke tempat yang super duper bagus kok usahanya standar banget, mimpi kali! 
Pahala dari ibadah 500 tahun pun belum bisa menandingi nikmat penglihatan yang sudah diberikan. Itu baru mata, belum ditambah organ lainnya. 
Lalu bagaimana?

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, Ia mendengar Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam bersabda, "Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga." "Engkau juga tidak wahai Rasulullah?" tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, "Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah." (HR. Muslim)1

Saya juga mendengar kisah serupa yang menceritakan bahwa penyebab masuk surga bukanlah karena banyaknya pahala, melainkan karna Rahmat & Ridho Allah2. Ya itu tadi, karna jika dihitung-hitung, pahala kita tidak akan cukup jika dibandingkan dengan nikmat yang sudah diberikan.

'Duh susah ya, banyak pahala aja belum tentu masuk surga, yaudah lah nikmatin hidup aja, You Only Live Once.'

Ya memang susah, yang dituju kan tempat yang super duper sangat bagus. Mau liat Aurora Borealis di Kutub aja susah, apalagi surga.
(Hahaha gampang banget nulisnya, praktiknya sih sering khilaf)

Perlu diingat bahwa Amal shalih & Rahmat Allah tak ayalnya sebuah kesatuan. Pada dasarnya, rahmat Allah lah yang memudahkan kita melakukan amal shalih. Sementara pahala adalah imbalannya. Jangan mengira bahwa kita melakukan amal shalih karena kita mampu atau karena kita berilmu. Berapa banyak orang yang mampu dan punya ilmu, tetapi tidak digerakkan hatinya untuk beramal shalih?

Ibarat di sebuah perlombaan marathon, ditambah dengan kondisi iman yang turun naik, meletakkan diri diantara orang-orang yang terbiasa berbuat baik juga bisa membantu agar kita selalu istiqomah/konsisten.

Karena sejatinya kita tidak tahu, amalan mana yang membuat Allah ridho terhadap kita. 


Wallahuallam.




P.S : Kenapa saya membuat tulisan ini? Sejujurnya saya termasuk orang yang cukup memperhitungkan amal. Kecenderungan lebih memilih shalat berjamaah karena tawaran pahala 27 kali lipat. Bersedekah karena dijanjikan pahala yang dilipatgandakan 700 kali. Atau melakukan sholat tertentu karena dijanjikan kemudahan-kemudahan. Saya baru sadar kalau semuanya saya lakukan untuk 'keuntungan saya'. Supaya mudah hidupnya, supaya banyak pahalanya, supaya lancar rezekinya. Sifatnya sangat transaksional.
Ridho Allah? Masih abstrak buat saya.

Lantas, apakah mengharapkan pahala ini salah? Ya tidak, karna memang Allah paham betul manusia perlu diiming-imingi. Allah pun memang mengajarkan 'berdagang' dengan-Nya.
Hanya saja rasanya saya terlalu banyak beribadah karena 'iming-iming'.


P.S.S : Tulisan ini dibuat bukan karena saya merasa sudah 'baik', melainkan sebagai pengingat untuk diri sendiri. Diposting di dalam blog supaya saya dengan mudah mengkases. Jika ada kekeliruan atau pemikiran yang tidak berkenan, silahkan ditinggalkan dan diambil yang baiknya saja :-)


2. Muhammad bin Hamid Abdul Wahab, 99 Kisah Orang Shalih, (Jakarta: Darul Haq, 2017), hal 80

No comments:

Post a Comment