Wednesday, February 26, 2020

Traveling & Tra(feel)ing

Bisa dibilang traveling makin mengakar sebagai gaya hidup pada anak muda sejak film 5 cm dirilis. Ditambah mudahnya informasi yang kita dapatkan dari internet membuat tempat yang jauh sekalipun rasanya mungkin disambangi. Bagi saya, traveling sebetulnya adalah bentuk award ke diri sendiri, daripada membeli barang, saya lebih memilih mengalokasikan waktu dan dana untuk kegiatan ini. Lalu apa yang di dapat dari kegiatan ini? Setiap orang pasti punya output yang berbeda. Kalau saya merasa jadi bisa lebih menghargai keberagaman dan perbedaan.

Sebelum saya lupa, ada beberapa poin yang ingin saya tulis dari perjalanan kemarin ke benua biru. Informasi menganai what to see dan what to do mungkin sudah banyak ditulis, jadi kali ini yang akan saya tulis adalah ‘what did I get from this trip’. Ini sifatnya sangat personal, tapi karna ini blog, jadi its ok lah ya.

1.      Eropa Sangat Terkonsep Sejak Awal
Sudah menjadi rahasia umum, beberapa negara di Eropa barat memiliki arsitektur dan tata letak bangunan yang serupa. Jika menelisik ke belakang, negara ini pada awalnya adalah kerajaan-kerajaan yang masih memiliki ikatan kekeluargaan. Menurut guide lokal di praha, cara kerajaan meluaskan daerah kekuasaan dan memperkuat kekuasaannya adalah dengan menikahkan keluarga mereka dengan anggota keluarga kerajaan lain. Jadi no wonder kalau beberapa negara di Eropa barat memiliki banyak kemiripan.
Saya yang sangat awam soal tata ruang kota, melihat, Belanda, Austria, Praha sangat terkonsep sejak awal. Mulai dari sistem pengairan, transportasi, bangunan yang sudah berusia ratusan tahun, tata letak (dimana tempat perbelanjaan, dimana tempat bersejarah, dimana pusat pemerintahan) semuanya tertata dengan rapi.

2. Bukan sekadar ‘kemana’ tujuannya, tetapi ‘apa tujuannya’ bisa jadi lebih penting untuk dipikirkan.
Sebelum berangkat saya berpikir, wah seru banget nih Eropa cuy, yang selama ini hanya baca di buku atau nonton di film, sekarang bisa liat dengan mata kepala sendiri. Beberapa hari di awal kedatangan, sangat exited rasanya. Beberapa hari setelahnya saya mulai merasa ‘Oke bagus bangunannya’ atau ‘oh ini toh kastil jaman perang’… ‘trus?..apa?’. (Biasanya saya tidak secepat itu bosan dalam trip, mungkin karena memang kurang interest juga pada city tour, saya baru merasakan senang yang sampai membuat sesak dan mata berkaca kaca saat sampai di Hallstatt.)
 Bukannya saya tidak bersyukur, hanya saja saya merasa bahwa dalam perjalanan ini bisa jadi bukan tujuannya yang penting, tapi apa yang dapat disana, pengalaman apa, dan dengan siapa.
Seorang teman bilang, banyak orang yang mencari kebahagiaan di suatu tempat, tapi tidak ia temukan dimanapun. Karena kebahagiaan itu dibentuk, bukan dicari. Mungkin bisa dibilang bagaimana kita memaknai hal tersebut, itu yang akan membuat bahagia atau tidak.

Hallstatt yang terlihat magical bak negeri dongeng


3.      Makanan
         Dessert di Eropa enak enak loh rasanyaa, tapi untuk makanan utama cenderung hambar. Apalagi saya kelupaan membawa saus & boncabe. Setiap makan saya malah makin bersyukur di Jakarta bisa merasakan makanan yang rasanya beragam. Makanan yang paling sering saya beli selama di Eropa adalah kebab. Suatu hari di Praha, sebuah toko doner kebab menjual kebab ayam yang enak bangettt. Plus, di toko kebab itu juga menjual pizza. Jadilah saya yang kelaparan memesan lagi 1 slice pizza dengan potongan daging yang terlihat menggiurkan. Ketika saya menunjuk pizza itu kepada si mbaknya, saya iseng memastikan ‘That one please. It is beef  isn’t it?’ mbaknya menjawab ‘we don’t have beef. Its pork. If you’re vegetarian you can eat the mushroom one’. JENG JENGG. Padahal karna toko kebab, saya pikir semuanya auto halal atau kosher lah minimal. Lalu saya pikir lagi, kenapa mbaknya mikir kalau saya vegan ya, saya aja nanyain beef. Mungkin itu cara halusnya memberitahu saya, mungkin.
           Dari pengalaman itu, hal kedua yang membuat saya bersyukur adalah, kalau di Jakarta tidak perlu was was setiap mau makan. Kalau diperjalanan ini, saya harus lihat-lihat dulu, cari tau dulu di internet ‘poulet’ (re: ayam) artinya apa sebelum membeli roti. Keberadaan mayoritas muslim di Jakarta membuat makanan halal sangat mudah didapat. Tinggal pilih, mau nasi padang, sate padang, atau soto padang 😁
Benar memang yang Buya Hamka pernah bilang ‘Pada dasarnya, manusia rindu akan sesuatu sebelum ada padanya.  Sementara bila telah ada, hilanglah kerinduannya.’

Love you makanan Indonesah.

4.      Toilet dan air
             Mungkin ini sepele banget, tapi air di toilet buat saya amat amat sangat krusial. Rasanya gak bersih aja kalau toilet gak pakai air. Waktu saya mendatangi sebuah mall di Jakarta Barat yang toiletnya hanya menyediakan tissue, saya lebih memilih menahan sampai rumah saja untuk menggunakan toilet.
      Kalau di Eropa, kan gak mungkin saya menahan… Disini airnya hanya ada di wastafel, bukan di toilet. Jadi bisa dibayangkan sendiri ya... Pada momen ini lagi-lagi saya bersyukur toilet di Jakarta punya air yang berlimpah ruah.
      Dannn, kebanyakan toilet itu berbayar, bahkan di dalam stasiuan dan mall. Pusing gak tuh sekali ke toilet bisa 16 ribu-an (harus sediain uang koin ya kalau ada rencana mau ke Yurop).


Tarif toilet di salah satu stasiun Belanda

      Inilah beberapa alasan yang membuat saya lebih suka melakukan perjalanan dengan mengatur secara mandiri dan dengan orang yang sedikit. Karena hal-hal seperti ini mungkin akan sulit didapatkan jika berada di dalam kelompok besar. 
Tidak bisa ke pasar, tidak bisa merasakan transportasi lokal, tidak ‘kesasar’, tidak bisa duduk-duduk di common room di hostel, dan kesempatan ‘ngobrol’ dengan orang random akan semakin sulit didapatkan. Kalau dalam kelompok besar, hampir pasti kecenderungan kita hanya mengobrold dengan teman seperjalanan kita saja.
Saya sendiri mendapat 1 kesempatan ngobrol yang berkesan dengan seorang bapak dari Austria yang saya temui di kereta. Saya saja bingung, kok bisa nih bapak ngajak ngobrol topiknya random sekali. Mulai dari peliharaannya, pendidikan di Indo, pengalamannya diving di Papua, sampai topik tentang have faith ke Tuhan. We talk less than 2 hours loh Pak, berat amat obrolannya...Tapi saya seneng sih obrolannya bukan yang sekadar basa basi 😊
Setelah turun kereta ini, saya melanjutkan perjalanan dengan kereta yang lain. Ketika saya sudah hampir naik kereta yang baru datang, si bapake yang tadi sudah jalan duluan, berbalik arah dan berlari ke arah saya dengan anjingnya sambil teriak kalau saya salah naik kereta. Yaampunnn baiknya sampe lari-lari gitu.


Bapak2 Gaul + Doggynya yang ketemu di kereta

Bagi saya, perjalanan bukan hanya tentang mendatangi main sight di sebuah tempat, tapi lebih kepada feel yang didapat. Duh gimana ya bilangnya...
Karna perjalanan semacam ini penuh ketidakpastiaan, maka paling tidak kita akan mendapatkan perasaan bingung mau makan apa, bingung mau ke tempat yang mana, takut kesasar, takut ketemu orang jahat, takut gak bisa pulang dan perasaan-perasaan lainnya yang menurut saya itulah yang membuat perjalanan lebih terasa hidup.
Tetapi, tentu saja bagi yang gak mau repot, melakukan perjalanan dengan travel agent akan memberikan banyak fasilitas yang memudahkan. 
Semua kembali lagi kepada preferensi masing-masing.

Jadi, kalau kalian jalan-jalan untuk apa?